Semakin kutahu
Jika pepohonan dijadikan pena
Dan laut menjadi tinta
Niscaya takkan pernah cukup
Tuk menuliskan semua nikmat-Nya
Lelah. Rasanya terlalu lelah untuk terus berdoa kepada Allah. Hari ini entah sudah kesekian kalinya aku meminta, tapi tak jua Dia mengabulkan permintaanku. Pekan lalu, saat ku membutuhkan pertolongan-Nya, Ia tak segera mengulurkan tangan-Nya. Ah, jangankan yang baru-baru ini, puluhan bahkan ratusan pintaku bulan-bulan sebelumnya, juga tahun sebelumnya, kalau kuingat-ingat, belum juga terkabulkan.
Tapi, apa salahnya malam ini ku mencoba berdialog kembali dengan-Nya, semoga saja Ia mau mendengar. Baru saja kususun jemari ini, belum sempat baris kata-kata yang sebelumnya sudah kurangkai indah di dalam benakku deras terburai keluar dari mulutku, mataku menangkap tajam jemariku yang bergerak ...
Astaghifirullaah ... seketika dadaku sesak. Berdegup kencang. Ingin kuhapus kata-kataku diatas. Tapi sudah terlanjur tumpah. Aku malu telah lancang kepada-Nya dan menihilkan semua yang telah diberikan-Nya.
Sedetik kemudian, seiring dengan menggenangnya air di pelupuk mata ini yang siap tumpah bagai gelombang yang menunggu perintah menghantam karang, benakku sudah disesaki dengan jutaan tanya ...
Pernahkah aku meminta kepada-Nya untuk memberikan kepadaku jemari yang lengkap dan indah ini, sehingga aku bisa banyak berbuat dengan kesempurnaan penciptaan ini. Aku tak pernah meminta sebelumnya agar Ia melengkapi tanganku ini dengan jemari, aku juga tak pernah berdoa untuk berbagai kesempatan hingga detik ini aku masih bisa menggerakkan dan menyentuh dengan jemariku ini. Tapi sampai detik ini, Dia masih memberikannya kepadaku.
Harus kusentuh lagi beberapa anggot tubuh ini. Kemudian aku berdiri, Subhanallah, aku masih bisa berdiri. Padahal aku tak pernah sebelumnya meminta agar terus ditetapkan memiliki dua kaki sempurna, tapi Dia masih terus memberikannya. Kupandangi, ups ... sebelum kulanjutkan ... dengan apa aku memandang? Pernahkah aku meminta Dia menganugerahiku sepasang mata indah ini? Sehingga semua terasa begitu indah untuk dinikmati, semua alam dan lukisan semesta menjadi penghibur hati dengan adanya dua mata ini. Kuyakin juga-aku tak pernah lupa-tak pernah memohon kepada-Nya untuk tetap memberikan dua telinga dengan fungsi pendengaran yang baik. Tapi kenapa aku masih bisa mendengar?
Test ... test ... satu ... satu, dua tiga …
Sengaja aku mengetes suaraku. Masih jelas terdengar. Tapi, bukankan Dia memberikannya begitu saja kepadaku tanpa pernah aku memintanya? Lalu aku berjalan, Alhamdulillah aku masih bisa berjalan. Keluar rumah, hhhhhh ... kuhirup udara malam yang sejuk. Eh, apa pernah aku minta Dia tak menyetop pasokan udara untukku? Bahkan ... aku masih hidup, aku masih hiduuup (teriakku) ... siapa yang tahu dan bisa menerka sampai kapan aku masih bisa menikmati hidup. Tapi yang jelas tak pernah sekalipun keluar dari mulut ini serangkai kata ”Tuhan, terima kasih atas semua nikmat-Mu, sampai hari ini.”
Masih saja banyak pintaku
Dan air mata itupun tumpah deras membasuh kegersangan jiwa ini ...
Jika pepohonan dijadikan pena
Dan laut menjadi tinta
Niscaya takkan pernah cukup
Tuk menuliskan semua nikmat-Nya
Lelah. Rasanya terlalu lelah untuk terus berdoa kepada Allah. Hari ini entah sudah kesekian kalinya aku meminta, tapi tak jua Dia mengabulkan permintaanku. Pekan lalu, saat ku membutuhkan pertolongan-Nya, Ia tak segera mengulurkan tangan-Nya. Ah, jangankan yang baru-baru ini, puluhan bahkan ratusan pintaku bulan-bulan sebelumnya, juga tahun sebelumnya, kalau kuingat-ingat, belum juga terkabulkan.
Tapi, apa salahnya malam ini ku mencoba berdialog kembali dengan-Nya, semoga saja Ia mau mendengar. Baru saja kususun jemari ini, belum sempat baris kata-kata yang sebelumnya sudah kurangkai indah di dalam benakku deras terburai keluar dari mulutku, mataku menangkap tajam jemariku yang bergerak ...
Astaghifirullaah ... seketika dadaku sesak. Berdegup kencang. Ingin kuhapus kata-kataku diatas. Tapi sudah terlanjur tumpah. Aku malu telah lancang kepada-Nya dan menihilkan semua yang telah diberikan-Nya.
Sedetik kemudian, seiring dengan menggenangnya air di pelupuk mata ini yang siap tumpah bagai gelombang yang menunggu perintah menghantam karang, benakku sudah disesaki dengan jutaan tanya ...
Pernahkah aku meminta kepada-Nya untuk memberikan kepadaku jemari yang lengkap dan indah ini, sehingga aku bisa banyak berbuat dengan kesempurnaan penciptaan ini. Aku tak pernah meminta sebelumnya agar Ia melengkapi tanganku ini dengan jemari, aku juga tak pernah berdoa untuk berbagai kesempatan hingga detik ini aku masih bisa menggerakkan dan menyentuh dengan jemariku ini. Tapi sampai detik ini, Dia masih memberikannya kepadaku.
Harus kusentuh lagi beberapa anggot tubuh ini. Kemudian aku berdiri, Subhanallah, aku masih bisa berdiri. Padahal aku tak pernah sebelumnya meminta agar terus ditetapkan memiliki dua kaki sempurna, tapi Dia masih terus memberikannya. Kupandangi, ups ... sebelum kulanjutkan ... dengan apa aku memandang? Pernahkah aku meminta Dia menganugerahiku sepasang mata indah ini? Sehingga semua terasa begitu indah untuk dinikmati, semua alam dan lukisan semesta menjadi penghibur hati dengan adanya dua mata ini. Kuyakin juga-aku tak pernah lupa-tak pernah memohon kepada-Nya untuk tetap memberikan dua telinga dengan fungsi pendengaran yang baik. Tapi kenapa aku masih bisa mendengar?
Test ... test ... satu ... satu, dua tiga …
Sengaja aku mengetes suaraku. Masih jelas terdengar. Tapi, bukankan Dia memberikannya begitu saja kepadaku tanpa pernah aku memintanya? Lalu aku berjalan, Alhamdulillah aku masih bisa berjalan. Keluar rumah, hhhhhh ... kuhirup udara malam yang sejuk. Eh, apa pernah aku minta Dia tak menyetop pasokan udara untukku? Bahkan ... aku masih hidup, aku masih hiduuup (teriakku) ... siapa yang tahu dan bisa menerka sampai kapan aku masih bisa menikmati hidup. Tapi yang jelas tak pernah sekalipun keluar dari mulut ini serangkai kata ”Tuhan, terima kasih atas semua nikmat-Mu, sampai hari ini.”
Masih saja banyak pintaku
Dan air mata itupun tumpah deras membasuh kegersangan jiwa ini ...